Tuesday, April 22, 2008

Cerpen : Ayah...

Takkan Kumaafkan Diriku Ini...

Usia ayah telah mencapai 70 tahun, namun tubuhnya masih kuat. Dia mampu mengendarai sepeda ke pasar yang jauhnya lebih kurang 2 kilometer untuk belanja keperluan sehari-hari. Sejak meninggalnya ibu pada 6 tahun lalu, ayah sendirian di kampung. Oleh karena itu kami kakak-beradik 5 orang bergiliran menjenguknya.

Kami semua sudah berkeluarga dan tinggal jauh dari kampung halaman di Teluk Intan. Sebagai anak sulung, saya memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Setiap kali saya menjenguknya, setiap kali itulah istri saya mengajaknya tinggal bersama kami di Kuala Lumpur. "Nggak usah... lain kali saja...!"jawab ayah. Jawaban itu yang selalu Diberikan kepada kami saat mengajaknya pindah. Kadang-kadang ayah mengalah dan mau menginap bersama kami, namun 2 hari kemudian dia minta diantar balik. Ada-ada saja alasannya.
Suatu hari Januari lalu, ayah mau ikut saya ke Kuala Lumpur. Kebetulan sekolah masih libur, maka anak-anak saya sering bermain dan bersenda-gurau dengan kakek mereka. Memasuki hari ketiga, ia mulai minta pulang.

Seperti biasa, ada-ada saja alasan yang diberikannya. "Saya sibuk, ayah... tak boleh ambil cuti. Tunggulah sebentar lagi... akhir minggu ini saya akan antar ayah," balas saya. Anak-anak saya ikut membujuk kakek mereka. "Biarlah ayah pulang sendiri jika kamu sibuk. Tolong belikan tiket bus saja yah..." katanya yang membuat saya bertambah kesal. Memang ayah pernah berkali-kali pulang naik bus sendirian. "Nggak usah saja yah..."bujuk saya saat makan malam. Ayah diam dan lalu masuk ke kamar bersama cucu-cucunya. Esok paginya saat saya hendak berangkat ke kantor, ayah sekali lagi minta saya untuk membelikannya tiket bus. "Ayah ini benar-benar nggak mau mengerti yah... saya sedang sibuk, sibuuukkkk!!!" balas saya terus keluar menghidupkan mobil.

Saya tinggalkan ayah terdiam di muka pintu. Sedih hati saya melihat mukanya. Di dalam mobil, istri saya lalu berkata, "Mengapa bersikap kasar kepada ayah? Bicaralah baik-baik! Kasihan khan dia...!" Saya terus membisu. Sebelum istri saya turun setibanya di kantor, dia berpesan agar saya penuhi permintaan ayah. "Jangan lupa, bang.. belikan tiket buat ayah," katanya singkat. Di kantor saya termenung cukup lama. Lalu saya meminta ijin untuk keluar kantor membeli tiket bus buat ayah.

Pk. 11.00 pagi saya tiba di rumah dan minta ayah untuk bersiap. "Bus berangkat pk. 14.00," kata saya singkat. Saya memang saat itu bersikap agak kasar karena didorong rasa marah akibat sikap keras kepala ayah. Ayah tanpa banyak bicara lalu segera berbenah. Dia masukkan baju-bajunya ke dalam tas dan kami berangkat. Selama dalam perjalanan, kami tak berbicara sepatah kata pun. Saat itu ayah tahu bahwa saya sedang marah. Ia pun enggan menyapa saya.

Setibanya di stasiun, saya lalu mengantarnya ke bus. Setelah itu saya pamit dan terus turun dari bus. Ayah tidak mau melihat saya, matanya memandang keluar jendela. Setelah bus berangkat, saya lalu kembali ke mobil. Saat melewati halaman stasiun, saya melihat tumpukan kue pisang di atas meja dagangan dekat stasiun. Langkah saya lalu terhenti dan teringat ayah yang sangat menyukai kue itu. Setiap kali ia pulang ke kampung, ia selalu minta dibelikan kue itu. Tapi hari itu ayah tidak minta apa pun.

Saya lalu segera pulang. Tiba di rumah, perasaan menjadi tak menentu. Ingat pekerjaan di kantor, ingat ayah yang sedang dalam perjalanan, ingat istri yang berada di kantornya. Malam itu sekali lagi saya mempertahankan ego saya saat istri meminta saya menelpon ayah di kampung seperti yang biasa saya lakukan setiap kali ayah pulang dengan bus. Malam berikutnya, istri bertanya lagi apakah ayah sudah saya hubungi. "Nggak mungkin belum tiba," jawab saya sambil meninggikan suara.

Dini hari itu, saya menerima telepon dari rumah sakit Teluk Intan. "Ayah sudah tiada..." kata sepupu saya disana. "Beliau meninggal 5 menit yang lalu setelah mengalami sesak nafas saat Maghrib tadi." Ia lalu meminta saya agar segera pulang. Saya lalu jatuh terduduk di lantai dengan gagang telepon masih di tangan. Istri lalu segera datang dan bertanya, "Ada apa, bang?" Saya hanya menggeleng-geleng dan setelah agak lama baru bisa berkata, "Ayah sudah tiada!!"

Setibanya di kampung, saya tak henti-hentinya menangis. Barulah saat itu saya sadar betapa berharganya seorang ayah dalam hidup ini. Kue pisang, kata-kata saya kepada ayah, sikapnya sewaktu di rumah, kata-kata istri mengenai ayah silih berganti menyerbu pikiran.

Hanya Allah yang tahu betapa luluhnya hati saya jika teringat hal itu. Saya sangat merasa kehilangan ayah yang pernah menjadi tempat saya mencurahkan perasaan, seorang teman yang sangat pengertian dan ayah yang sangat mengerti akan anak-anaknya. Mengapa saya tidak dapat merasakan perasaan seorang tua yang merindukan belaian kasih sayang anak-anaknya sebelum meninggalkannya buat selama-lamanya.

Sekarang 5 tahun telah berlalu. Setiap kali pulang ke kampung, hati saya bagai terobek-robek saat memandang nisan di atas pusara ayah. Saya tidak dapat menahan air mata jika teringat semua peristiwa pada saat-saat akhir saya bersamanya. Saya merasa sangat bersalah dan tidak dapat memaafkan diri ini.

Benar kata orang, kalau hendak berbakti sebaiknya sewaktu ayah dan ibu masih hidup. Jika sudah tiada, menangis airmata darah sekalipun tidak berarti lagi.

Dari forum curhat kehidupan

15 comments:

Sefa Firdaus said...

aku udah pernah baca nih Yol
memang bener, kalo mau berbakti sekarang...kalo udah gak ada hanya dengan doa berbaktinya

Anna Vanjava said...

Hiks....
ayaaaaaah... rinduuuu.....

citytown triefince said...

kangen ama bokap nih, baca lagi soal ini, jadi cengeng

citytown triefince said...

ceritanya duhhh bener-bener deh yah...

Anna Vanjava said...

hikssss...
sedih bgt yah say,.....

Seto Wibowo said...

makasih buat cerpennya

bude kece said...

aku bingung nech,aku sayang sama ayahku,tapi istri muda ayah membuat aku sakit kepala karna slalu minta uang dgn alas an ayahku,kemarin aku marah besar dgn istri muda ayahku karna dia tak lagi ngurus in ayahku yg sudah tua,bahkan memperlakukan ayah seperti binatang,aku kerja keras untuk ayahku,aku ingin ayahku hidup tenang di hari tuanya,rumah kubelikan ,tiap bulan juga ku kirim uang buat ayahku,walaupun aku tau ayah masih punya pensiun....tapi pensiun ayah di gadaikan dgn istrinya,ini membuat ku kesal,rumahku juga mau dia jual untung aku cepat menyita surat rumah itu,dia juga minta bag buat anaknya itu adik tiriku...apa apa an seharusnya dia membantuku,ini rumahku dari hasil keringatku,aku tak mengerti juga jalan fikir an ayahku,ber dosakah diriku....aku ingin ayah bahagia,seperti kata ayah,diapun sebel dgn tingkah istrinya yg boros dan pembohong,tapi ayah tak mau lepaskan wanita itu,disatu sisi ada rasa aku ini seperti penghianat,karna sejak ayah pergi dgn wanita ini ibuku jadi sakit sakit an,aku sayang ibuku...tapi aku tak dpt musuhi ayah seperti saudara saudaraku yg lain,sering aku merasa takut bila tiba saatnya ayahku berpulang,harus kemana...sedangkan itu istrinya bukan se agama...tolong...aku harus bagaimana,sementara aku tidak tinggal di indonesia

budi yati said...

thanks sharingnya mba..nice story...

M C L said...

TFS ya yol...

Sylvie TAN said...

cerita spt "Stories ever told" gt lah.Tetap bermanfaat isinya, Yola.
Ayahku meninggal pd usia muda...berdarah seni....jadi teringat dia,
hub.kami selalu baik wkt dia masih hidup, klo gak....bisa nyesal tuh!
Thanks Yola, cerita klassik yg selalu masih aktif isinya.

mark hellmeed julian said...


good story to tell..
thanks

:)

Haley GR said...

thanks ceritanya yola :)

Siska WP said...

yoi bener banjetsssssssssssss

krz sgo said...

klo mo berbakti yah emank sebaiknya pas bonyok masih idup..
tapi kayaknya koq susah banget yah nunjukin itu saat mereka masi ada.. ntar pas udah ga ada baru nyesel..
aneh.. tapi nyata.. ;)

Ceuceu Wike said...

setujuh..

:)